Kamis, 09 Juni 2011

Masturbasi Theory dan Onani Thingking


Emosi, gregetan (galinggaman), muak, benci dan marah lalu muntah (ekspresi yang membuat mudah naik birahi tapi ejekulasi dini) melihat Alangkah Lucunya Negeri Ini.  Entah kenapa Aku tak lagi terangsang mendengar lagu Indonesia Raya, mambaca teks Pancasila, Proklamasi apalagi naskah UUD 45, apalagi menghormat Sang Saka Merah Putih di setiap upacara. Apakah itu pertanda kalau aku sudah mengalami degradasi nyali nasionalisme dan di klaim tak “sok” nasionalis dan patriotisme. Hal yang sangat ironi dan tragis lah yang membuat itu terjadi dari kondisi negeri tirani dan elit bangsa bedebah ini. Menjerit ke langit, langit tak mendengar (meminjam lirik lagu PeterPorn) karena pekak lapisan ozon tercemar. Memaki ke bumi, bumi tak lagi peduli karena sudah berulang kali di lakukan pelecehan eksploitasi. Meludah ke laut, laut malah memuntah badai akibat polusi globalisasi.

Apa aku tidak muak melihat prilaku para petinggi negeri yang konon katanya mengaku “sok” nasionalis, “sok” agamais dan “sok” pancasilais, ternyata hanyalah kedok “adipura-pura” dan malah merekalah biang kerok dari bobroknya mentalitas bangsa ini. Wajah mereka yang sumringah petentengan di media layar kaca, seolah tak berdosa, melambai tangan memakai peci dan kerudung, masih senyum dengan roman muka buaya bunting yang buntung. Mereka para koruptor kotor yang membuat generasi penerus hanya tinggal celana kolor. Mereka politisi busuk yang jadi kaya dan berwibawa hanya dengan menjual kecap dan modus air ludah seenaknya saja bias tiba-tiba “jatuh sakit, lupa ingatan, berobat keluar negeri, lalu lari dan para pejabat hkum malih rupa menjadi penjahat hukum malah sibuk onani thingking dan masturbasi teory tentang demokrasi yang adiluhung. Mereka hamba hukum yang pandai membuat hukum menjadi maklum dengan senyum dikulum justru merekalah kanibal terhukum. Mereka yang menyandang gelar master sampai monster justru dengan fatwa merekalah bangsa ini mabuk teler. Mereka yang bertampang jubah alim tapi lalim. Masih banyak lagi mereka-mereka yang seharusnya menjadi apresiasi dengan torehan prestasi, tapi malah membuat apriori dan frustasi estafet generasi.

Anda mau masuk televisi tak usahlah sibuk sekolah tinggi dan bermimpi jadi artis. Atau berlagak jadi kriminal lalu terkenal. Cukup jadi pencuri high class dan trendy dengan balutan asesoris kategori pejabat dengan modus operandy curi saja uang rakyat, tak usah berpikir akhirat (karena disana toh tak ada rokok ardath konon lagi jablay lewat), maka anda akan menjadi berita utama sejagat. Melinda Dee sudah jelas pencuri, operasi teteknya malah dibiayai polisi. Nunun yang ahli nujum saja bisa pura-pura lupa ingatan dan lari,  suaminya mantan Waka Polri yang kini jadi politisi partai ilahi, yang selama ini pandai menangkap anak negeri yang terindikasi pencuri, malah jadi lupa diri, jadi suami takut istri. Mereka yang berencana Makar mau mengganti identitas Negara tapi malah tak terusik karena berlindung dibalik ketiak pejabat narsis, sementara sebagian lain dengan kasus yang tak jauh beda malah dibrangus habis dianggap teroris. Mereka yang kasak kusuk menuding haram dan sesat tapi tak mau memvonis fatwa khurafat para koruptor malah berkolaborasi dalam setiap acara resepsi padahal nuraninya berkata itu laknat. Sungguh hati, logika dan akal budi merekalah yang jauh lebih jahat. Gayus si akal bulus justru adalah kroni cyrus si markus dan menjadi “guardian angel” bagi perusahaan tikus, pemiliknya adalah pejabat, politisi yang demi tuhan entah kapanlah mereka di infus.Banyak lagi mereka-mereka yang demi tuhan sekali lagi entah kapanlah mereka mampus.

Beda sekali dengan “Wak Labu” yang langsung ditangkap hanya karena maling sepatu karena anaknya dirumah sudah mulai menjilati batu. Beda sekali dengan “Wak Angah” yang ditangkap petugas gabungan Kamtibmas dengan tudingan membuat penyakit sosial, padahal itu demi anaknya yang sudah mulai terbiasa menggigit sandal karena jatah beras raskin tak diberi dengan alasan tak punya KTP dan masuk kategori penduduk tak dikenal. Beda sekali dengan “Mak Ros” yang diciduk polisi karena berprofesi tukang rekap togel, dulu dia jadi PKL tapi digusur dianggap bandel membuat semak keindahan kota dalih Kepala Satpol PP yang bawel. Beda sekali dengan “Mak Jang” yang divonis pengadilan 2 tahun 22 bulan karena pelaku video mesum, justru mereka yang jadi tukang hukum malah asik mendownloud reka adegan itu dengan senyum dikulum. Beda sekali dengan anak negeri yang jadi kuli dan babu di negara sendiri dan justru kepribumian dan kemiskinan merekalah yang di eksploitasi jadi kampanye hutang luar negeri. Beda sekali padahal mereka sudah jual diri demi membayar pajak bumi. Dan Negara malah menjustifikasi itu wajib dan lumrah sebagai tanda partisipasi jasa membangun bangsa. Dan Negara ini malah menjadi lintah bagi mereka-mereka yang seharusnya dilindungi, dibiayai dan disejahterakan karena dalam statute UUD 45, mereka itulah anak-anak bangsa. Oi Mak Jang… Memang botullah Negara bujang. Palak awak, memang negera pukimak.

Salahkah aku memaki menjeritkan kata hati daripada gila sendiri melihat situasi dan kondisi terkini dari bangsa ini.Pernah terlintas untuk hijrah berganti warga Negara, karena disini malah jadi kambing congek dan biarlah dinegara antah berantah jadi lembu bengek, dan itu jauh lebih baik daripada menahan hati angek. Walaupun itu sempat terlintas dipikiran, tapi demi Tuhan entah kenapa itu tak pernah sedikitpun mau kulakukan. Bukan karena aku takut dan tak peduli lagi, tapi rasa benci tak lantas membuatku mesti jadi banci. Demi Tuhan, entah kenapa aku masih cinta negeri ini. Catatan tulisan bernada muntahan hujatan ini semoga menjadi saksi bahwa aku masih peduli bersama mereka yang berpartisipasi merestorasi Indonesia, dan itu mesti. Itu pasti.
Oleh Dedi Zindegy Sutomo